Loading...
Cerita dan Gambar Mayat Berjalan di Tana Toraja
Kisah Mayat Membalas Budi
Tana Toraja: Kabut tipis menyelimuti pergunungan Balla, Kecamatan Baruppu, Jakarta, Sulawesi Selatan, pertengahan Ogos lalu. Namun, kabut tersebut perlahan mulai tersibak dinginnya angin pagi. Hari ini, kesibukan luar biasa terjadi pada setiap penghuni warga Baruppu. Mereka tengah menggelar sebuah ritual di tempat awal mula sejarah dan misteri anak manusia yang mendiami Kecamatan Baruppu. Ritual yang selalu digelar seluruh warga Baruppu untuk melaksanakan amanah leluhur. Ma `nene, sebuah tradisi mengenang para leluhur, saudara, dan handai taulan yang lain yang sudah meninggal dunia.
Kisah Ma `nene bermula dari seorang pemburu binatang bernama Pong Rumasek, beratus-ratus tahun lampau. Ketika itu, dirinya memburu hingga masuk kawasan hutan pergunungan Balla. Di tengah perburuannya, Pong Rumasek mencari jasad seseorang yang meninggal dunia, tergeletak di tengah-tengah jalan di dalam hutan tebal. Mayat itu, keadaannya mengenaskan. Tubuhnya tinggal tulang h i ngga menggugah hati Pong Rumasek untuk merawatnya. Jasad itu pun dibungkus dengan baju yang dipakainya, sekaligus mencarikan tempat yang layak. Setelah dirasa dalam, Pong Rumasek pun meneruskan perburuannya.
Sejak kejadian itu, setiap kali dirinya mengincar binatang buruan selalu dengan mudah mendapatkannya, termasuk buah-buahan di hutan. Kejadian aneh kembali berulang ketika Pong Rumasek pulang ke rumah. Tanaman pertanian yang ditinggalkannya, rupanya tuai lebih cepat dari masa. Bahkan, hasilnya lebih melimpah. Kini, setiap kali dirinya memburu ke hutan, Pong Rumasek selalu bertemu dengan arwah orang mati yang pernah dirawatnya. Bahkan, arwah tersebut akan membantu mengiringi binatang yang diburunya.
Pong Rumasek pun membuat kesimpulan bahawa jasad orang yang meninggal dunia harus tetap dimuliakan, meski itu hanya tinggal tulang-tulangnya. Maka dari itu, setiap tahun sekali sehabis tuai besar di bulan Ogos, setiap penduduk Baruppu selalu mengadakan Ma `nene, seperti yang diamanatkan leluhurnya, mendiang Pong Rumasek.
Bagi masyarakat Baruppu, ritual Ma `nene juga dimaknai sebagai pelekat ikatan di antara mereka. Bahkan Ma `nene menjadi aturan adat yang tak bertulis yang selalu dipatuhi setiap warga. Ketika salah satu pasangan suami isteri meninggal dunia, maka pasangan yang ditinggal mati tak boleh kawin lagi sebelum mengadakan Ma `nene. Mereka menganggap sebelum melaksanakan ritual Ma `nene status mereka masih dianggap pasangan suami isteri yang sah. Tapi, jika sudah melakukan Ma `nene, maka pasangan yang masih hidup dianggap sudah bujang dan berhak untuk kawin lagi.
Meski warga Baruppu termasuk suku Toraja. Tapi, ritual Ma `nene yang dilakukan setiap tahun sekali ini adalah satu-satunya warisan leluhur yang masih dipertahankan secara rutin hingga kini. Kesetiaan mereka terhadap amanah leluhur melekat pada setiap warga desa. Penduduk Baruppu percaya jika peruntukan adat yang diwariskan dilanggar maka akan datang musibah yang melanda seisi desa. Misalnya, gagal panen atau salah satu keluarga akan menderita sakit berpanjangan.
Dalam bahasa Bugis, Toraja diertikan sebagai orang yang berdiam di negeri atas atau pergunungan. Namun, masyarakat Toraja sendiri lebih menyukai dirinya disebut sebagai orang maraya atau keturunan bangsawan yang bernama Sawerigading. Berbeza dengan orang Toraja pada umumnya, masyarakat Baruppu lebih mengenal asal usulnya dari Ta `dung Langit atau yang datang dari awan.
Lama kelamaan Ta `dung Langit yang menyamar sebagai pemburu ini menetap di kawasan hutan Baruppu dan kawin dengan Dewi Kesuburan Bumi. Kerana itu, sering terlihat ketika orang Toraja meninggal dunia, mayatnya sentiasa dikuburkan di liang batu. Tradisi tersebut erat kaitannya dengan konsep hidup masyarakat Toraja bahawa leluhurnya yang suci berasal dari langit dan bumi. Maka, tak semestinya orang yang meninggal dunia, jasadnya dikuburkan dalam tanah. Bagi mereka hal itu akan merosakkan kesucian bumi yang mengakibatkan kesuburan bumi.
Kali ini, keluarga besar Tumonglo melakukan ritual Ma `nene, seperti tahun-tahun sebelumnya. Sejak pagi, keluarga ini sudah disibukkan siri aktiviti ritual yang bermula dengan memotong kerbau dan babi. Bagi keluarga Tumonglo mahupun sebahagian besar masyarakat Toraja lain pesta adalah bahagian yang tak terpisahkan setiap kali menghormati orang yang akan menuju nirwana. Meski mereka sudah banyak yang menganut agama-agama samawi, adat dan tradisi yang diwariskan para leluhurnya ini tak mudah ditinggalkan.
Kini, tiba masanya keluarga Tumonglo menjalani ritual inti dari Ma `nene. Di bawah kubur tebing batu Tunuan keluarga ini berkumpul menunggu peti jenazah nenek Biu-leluhur keluarga Tumonglo yang meninggal dunia setahun lalu-diturunkan. Tak jauh dari tebing, kaum lelaki saling bergandingan tangan membentuk bulatan sambil melantunkan Ma `badong. Sebuah gerak dan lagu yang melambangkan ratapan kesedihan mengenang jasa mendiang yang telah meninggal dunia sekaligus memberi semangat pada keluarga almarhum.
Bersamaan dengan itu, peti jenazah pun mula diturunkan dari lubang batu secara perlahan-lahan. Peti kusam mengandungi jasad nenek Biu. Keluarga Tumonglo mempercayai bahawa ada kehidupan kekal selepas kematian. Sejatinya kematian bukanlah akhir dari segala risalah kehidupan. Kerana itu, menjadi kewajipan bagi setiap keluarga untuk mengenang dan merawat jasad leluhurnya meski sudah meninggal dunia beberapa tahun lalu. Dalam ritual ini, jasad orang mati dikeluarkan kembali dari tempatnya. Kemudian, mayat tersebut dibungkus semula dengan lembaran kain baru, masing-masing anak-anak mereka.
Di desa Bu `buk, suasananya tidak jauh berbeza dengan kampung lain di Kecamatan Baruppu. Di tempat ini keluarga besar Johanes kiding juga akan melakukan Ma `nene terhadap leluhurnya Ne` kiding. Sebelum ke kubur, masyarakat dan handai taulan berkumpul di pelataran desa di bawah deretan rumah tradisional khas Toraja, Tongkonan.
Pagi itu, mereka dihidangkan makanan khas daging babi oleh keluarga besar Johanes untuk dimakan beramai-ramai. Setelah selesai, masyarakat, dan handai taulan keluarga Johanes mula berangkat menuju kubur nenek moyang. Namun, kuburan yang dituju bukan liang batu seperti umumnya, melainkan Pa `tane yakni rumah kecil yang digunakan untuk menyimpan jasad para leluhur mereka.
Acara dilanjutkan dengan membuka dua peti yang mengandungi jasad leluhur. Mayat yang sudah meninggal setahun yang lalu itu dibungkus semula dengan kain baru. Perlakuan itu diyakini atas rasa hormat mereka pada leluhur semasa hidup. Mereka yakin arwah leluhur masih ada untuk memberi kebaikan. Dalam setiap Ma `nene, jasad orang yang meninggal pantang diletakkan di dasar tanah. Kerana itu, para sanak keluarga selalu menjaganya dengan memangku jasad leluhurnya. Tak ayal, tangis kepiluan kembali merebak. Mereka meratapi leluhurnya sambil menyebut-nyebut namanya. Jasad yang sudah dibungkus kain baru pun dimasukkan kembali ke dalam rumah Pa `tane. Kini, keluarga Johanes pun telah selesai melaksanakan amanah leluhur.
(Vivanewsforum
Kisah Mayat Membalas Budi
Tana Toraja: Kabut tipis menyelimuti pergunungan Balla, Kecamatan Baruppu, Jakarta, Sulawesi Selatan, pertengahan Ogos lalu. Namun, kabut tersebut perlahan mulai tersibak dinginnya angin pagi. Hari ini, kesibukan luar biasa terjadi pada setiap penghuni warga Baruppu. Mereka tengah menggelar sebuah ritual di tempat awal mula sejarah dan misteri anak manusia yang mendiami Kecamatan Baruppu. Ritual yang selalu digelar seluruh warga Baruppu untuk melaksanakan amanah leluhur. Ma `nene, sebuah tradisi mengenang para leluhur, saudara, dan handai taulan yang lain yang sudah meninggal dunia.
Kisah Ma `nene bermula dari seorang pemburu binatang bernama Pong Rumasek, beratus-ratus tahun lampau. Ketika itu, dirinya memburu hingga masuk kawasan hutan pergunungan Balla. Di tengah perburuannya, Pong Rumasek mencari jasad seseorang yang meninggal dunia, tergeletak di tengah-tengah jalan di dalam hutan tebal. Mayat itu, keadaannya mengenaskan. Tubuhnya tinggal tulang h i ngga menggugah hati Pong Rumasek untuk merawatnya. Jasad itu pun dibungkus dengan baju yang dipakainya, sekaligus mencarikan tempat yang layak. Setelah dirasa dalam, Pong Rumasek pun meneruskan perburuannya.
Sejak kejadian itu, setiap kali dirinya mengincar binatang buruan selalu dengan mudah mendapatkannya, termasuk buah-buahan di hutan. Kejadian aneh kembali berulang ketika Pong Rumasek pulang ke rumah. Tanaman pertanian yang ditinggalkannya, rupanya tuai lebih cepat dari masa. Bahkan, hasilnya lebih melimpah. Kini, setiap kali dirinya memburu ke hutan, Pong Rumasek selalu bertemu dengan arwah orang mati yang pernah dirawatnya. Bahkan, arwah tersebut akan membantu mengiringi binatang yang diburunya.
Pong Rumasek pun membuat kesimpulan bahawa jasad orang yang meninggal dunia harus tetap dimuliakan, meski itu hanya tinggal tulang-tulangnya. Maka dari itu, setiap tahun sekali sehabis tuai besar di bulan Ogos, setiap penduduk Baruppu selalu mengadakan Ma `nene, seperti yang diamanatkan leluhurnya, mendiang Pong Rumasek.
Bagi masyarakat Baruppu, ritual Ma `nene juga dimaknai sebagai pelekat ikatan di antara mereka. Bahkan Ma `nene menjadi aturan adat yang tak bertulis yang selalu dipatuhi setiap warga. Ketika salah satu pasangan suami isteri meninggal dunia, maka pasangan yang ditinggal mati tak boleh kawin lagi sebelum mengadakan Ma `nene. Mereka menganggap sebelum melaksanakan ritual Ma `nene status mereka masih dianggap pasangan suami isteri yang sah. Tapi, jika sudah melakukan Ma `nene, maka pasangan yang masih hidup dianggap sudah bujang dan berhak untuk kawin lagi.
Meski warga Baruppu termasuk suku Toraja. Tapi, ritual Ma `nene yang dilakukan setiap tahun sekali ini adalah satu-satunya warisan leluhur yang masih dipertahankan secara rutin hingga kini. Kesetiaan mereka terhadap amanah leluhur melekat pada setiap warga desa. Penduduk Baruppu percaya jika peruntukan adat yang diwariskan dilanggar maka akan datang musibah yang melanda seisi desa. Misalnya, gagal panen atau salah satu keluarga akan menderita sakit berpanjangan.
Dalam bahasa Bugis, Toraja diertikan sebagai orang yang berdiam di negeri atas atau pergunungan. Namun, masyarakat Toraja sendiri lebih menyukai dirinya disebut sebagai orang maraya atau keturunan bangsawan yang bernama Sawerigading. Berbeza dengan orang Toraja pada umumnya, masyarakat Baruppu lebih mengenal asal usulnya dari Ta `dung Langit atau yang datang dari awan.
Lama kelamaan Ta `dung Langit yang menyamar sebagai pemburu ini menetap di kawasan hutan Baruppu dan kawin dengan Dewi Kesuburan Bumi. Kerana itu, sering terlihat ketika orang Toraja meninggal dunia, mayatnya sentiasa dikuburkan di liang batu. Tradisi tersebut erat kaitannya dengan konsep hidup masyarakat Toraja bahawa leluhurnya yang suci berasal dari langit dan bumi. Maka, tak semestinya orang yang meninggal dunia, jasadnya dikuburkan dalam tanah. Bagi mereka hal itu akan merosakkan kesucian bumi yang mengakibatkan kesuburan bumi.
Kali ini, keluarga besar Tumonglo melakukan ritual Ma `nene, seperti tahun-tahun sebelumnya. Sejak pagi, keluarga ini sudah disibukkan siri aktiviti ritual yang bermula dengan memotong kerbau dan babi. Bagi keluarga Tumonglo mahupun sebahagian besar masyarakat Toraja lain pesta adalah bahagian yang tak terpisahkan setiap kali menghormati orang yang akan menuju nirwana. Meski mereka sudah banyak yang menganut agama-agama samawi, adat dan tradisi yang diwariskan para leluhurnya ini tak mudah ditinggalkan.
Kini, tiba masanya keluarga Tumonglo menjalani ritual inti dari Ma `nene. Di bawah kubur tebing batu Tunuan keluarga ini berkumpul menunggu peti jenazah nenek Biu-leluhur keluarga Tumonglo yang meninggal dunia setahun lalu-diturunkan. Tak jauh dari tebing, kaum lelaki saling bergandingan tangan membentuk bulatan sambil melantunkan Ma `badong. Sebuah gerak dan lagu yang melambangkan ratapan kesedihan mengenang jasa mendiang yang telah meninggal dunia sekaligus memberi semangat pada keluarga almarhum.
Bersamaan dengan itu, peti jenazah pun mula diturunkan dari lubang batu secara perlahan-lahan. Peti kusam mengandungi jasad nenek Biu. Keluarga Tumonglo mempercayai bahawa ada kehidupan kekal selepas kematian. Sejatinya kematian bukanlah akhir dari segala risalah kehidupan. Kerana itu, menjadi kewajipan bagi setiap keluarga untuk mengenang dan merawat jasad leluhurnya meski sudah meninggal dunia beberapa tahun lalu. Dalam ritual ini, jasad orang mati dikeluarkan kembali dari tempatnya. Kemudian, mayat tersebut dibungkus semula dengan lembaran kain baru, masing-masing anak-anak mereka.
Di desa Bu `buk, suasananya tidak jauh berbeza dengan kampung lain di Kecamatan Baruppu. Di tempat ini keluarga besar Johanes kiding juga akan melakukan Ma `nene terhadap leluhurnya Ne` kiding. Sebelum ke kubur, masyarakat dan handai taulan berkumpul di pelataran desa di bawah deretan rumah tradisional khas Toraja, Tongkonan.
Pagi itu, mereka dihidangkan makanan khas daging babi oleh keluarga besar Johanes untuk dimakan beramai-ramai. Setelah selesai, masyarakat, dan handai taulan keluarga Johanes mula berangkat menuju kubur nenek moyang. Namun, kuburan yang dituju bukan liang batu seperti umumnya, melainkan Pa `tane yakni rumah kecil yang digunakan untuk menyimpan jasad para leluhur mereka.
Acara dilanjutkan dengan membuka dua peti yang mengandungi jasad leluhur. Mayat yang sudah meninggal setahun yang lalu itu dibungkus semula dengan kain baru. Perlakuan itu diyakini atas rasa hormat mereka pada leluhur semasa hidup. Mereka yakin arwah leluhur masih ada untuk memberi kebaikan. Dalam setiap Ma `nene, jasad orang yang meninggal pantang diletakkan di dasar tanah. Kerana itu, para sanak keluarga selalu menjaganya dengan memangku jasad leluhurnya. Tak ayal, tangis kepiluan kembali merebak. Mereka meratapi leluhurnya sambil menyebut-nyebut namanya. Jasad yang sudah dibungkus kain baru pun dimasukkan kembali ke dalam rumah Pa `tane. Kini, keluarga Johanes pun telah selesai melaksanakan amanah leluhur.
(Vivanewsforum
0 Ulasan
jerit kat sini